Kamis, 04 Juni 2009

Aku Mencintaimu

Aku tak tahu sampai kapan akan bertahan dengannya. Bukan sesuatu yang tak mungkin kalau saat nanti aku meninggalkannya. Aku sudah lelah dengan segala sikap manisnya. Busyet semua. Dia selalu mengatakan khilaf dan tidak akan mengulangi lagi. Tapi apa kenyataannya?
Awalnya aku tidak terlalu percaya dengan semua kata-kata rekan kerjaku tentang perilakunya. Aku lebih percaya pada dia, orang yang selama 2,5 tahun ini mendampingi dan mengisi hari-hariku dengan cinta dan kasih sayang. Aku percaya betul dia tidak akan melakukan ini padaku. Karena aku sangat mencintainya lebih dari segala yang ada. Dia pasti tidak akan tega melakukannya, pikirku. Walaupun perbedaan prinsip di antara kami, kami selalu bisa menghindarinya dan bahkan saling menghormatinya. Tak ada hal yang lebih penting dari semuanya, selain cinta kami. Aku begitu yakin akan hal itu.
“Gue, sebenarnya nggak tega banget sih, ngatakan hal ini pada lo, Ndah!” kata Rani dengan penuh hati-hati.
Aku hanya terdiam. Ada kekecewaan yang mendalam dalam jiwaku. Serasa tercabik-cabik hatiku. Ingin kumenangis sekeras-kerasnya. Ingin kuluapkan segala luka dalam jiwaku. Tapi aku tak mampu.
Ini bukan yang pertamanya aku mendengar berita miring tentangnya lewat rekan kerjaku. Rani, Tanti, dan banyak lagi rekan kerjaku yang sering memergoki dia berada di jalan, café-café, bioskop bahkan di tempat-tempat umum dengan perempuan lain. Semula memang aku tak percaya begitu saja dengan cerita mereka. Walaupun rekan-rekanku itu tidak mungkin berbohong. Mereka semua adalah teman baikku. Apa untungnya pula bagi mereka berbohong? Tidak ada.
Setiap kali aku meminta penjelasan darimu tentang cerita-cerita itu, kamu selalu menepisnya. Dia selalu marah padaku dan mengatakan bahwa aku tidak lagi menyayanginya dan tidak lagi menaruh rasa percaya pada dirinya. Alhasil, kita pun bertengkar dan selalu terselesaikan dengan ending di ranjang. Aku sebenarnya terkadang jenuh juga dengan hubungan ini. Terkadang aku berpikir apakah seks adalah jawabannya? Kenapa tak mampu lepaskan jiwaku darinya? Akhirnya pertanyaan itupun dapat kutepis dengan penyesalan sendiri.
Semua bukan hanya sekadar seks tetapi ada hal yang lebih dari segalanya karena aku mencintainya.
Apabila muncul pikiran yang tidak-tidak tentang dirinya, itu akan mengalir dengan sendirinya bahwa aku lebih percaya dia daripada orang lain. Akan selalu ada ada kata maaf yang keluar dari mulutku sendiri, atas kesalahannya.
Aku akui, ku tak mampu melepaskan diriku darinya. Mungkin sudah terlalu besar cintaiku padanya. Memang, hubungan ini sudah tidak lagi bisa dikatakan sebagai pacaran bahkan apa yang telah kami lakukan layaknya seperti suami istri.
Awalnya, memang terasa canggung bagiku, tidur bersama seorang laki-laki adalah pertama kalinya aku dengannya. Memang terasa asing, dari situlah lama kelamaan jadi sebuah candu. Lalu aku tahu bagaimana bentuk celana, tubuh, dan posisi yang paling membuat dia lebih bergairah. Dan betapa takutnya diriku jika dia sampai tahu perut, paha, selangkanganku yang dipenuhi lemak. Mungkin saja akan mengurangi gairah seksnya. Segalanya kulakukan agar dia selalu bahagia bersamaku.
“Aku selalu percaya pada Andi 100 %, Nil!” Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri.
“Tapi lo harus melihat realita dong? Dia telah khianati lo, Ndah!” suara Nila bergetar seolah merasa iba padaku. Ku coba mengingkari semua yang dikatakannya.
“Aku sudah terlanjur mencintai dia seperti aku mencintai diriku sendiri.”
“Please deh, Ndah! Sampai kapan lo akan terus menutup mata dan membiarkan penindasan ini berlanjut?” Kali ini suaranya terdengar sangat keras.
” Aku tidak bisa hidup tanpa dia, aku tidak bisa meninggalkannya!”
“Gue tahu, tapi cinta sejati yang lo miliki tak seharusnya mendapat balasan pengkhianatan, Ndah.” nada suaranya mulai merendah. Aku tertunduk dan mulutku terasa kaku.
“Gue nggak maksa lo untuk meninggalkannya. Tapi saranku, Kau patut mendapatkan cinta sejati yang membuat hidup lo lebih baik, ” ujarnya dengan keras.
Ia terus pergi meninggalkan aku sendiri di café ini. Aku masih terdiam terpaku. Tak beranjak dari tempat dudukku. Hatiku gelisah. Kubertanya dalam relung jiwa.
Masih adakah cinta sejati untukku? Patutkah aku meraihnya. Aku sudah tidak suci lagi. Walau apa yang telah kulakukan semuanya atas dasar cinta. Tapi tidak sepatutnya itu kulakukan. Memang, kuakui ketika itu aku tak mampu menghindarinya.
Hem, apa gunanya menyesali sesuatu yang sudah terjadi. Kuberanjak dari duduk. Tapi tubuhku terasa kaku. Tak mampu digerakkan. Masih terngiang jelas perkataan Nila, sahabat dekatku. Apa yang dia katakan memang benar. Tapi apa lagi yang patut kuperjuangkan? Aku telah kehilangan segala-galanya. Bahkan sebuah kesucian yang seharusnya dipersembahkan seorang isteri pada suaminya pun sudah hilang. Tubuhku terasa lemas lunglai, jiwaku terasa tercabik-cabik. Ruhku seperti hilang dari raga. Ingin kuberlari sekencang-kencangnya hingga pada batas yang tak lagi terjangkau oleh manusia. Tapi bukankah aku sudah berlari. Bahkan sangat jauh sekali. Lari dari keluargaku dan kenyataan. Memang harus berlari. Bukankah tiada lagi yang patut kubanggakan. Yang tak dapat kuwujudkan adalah lari dari cintanya. Cinta yang hanya membuat aku penat. Penat dengan segalanya. Aku tak tahu mengapa kau telah mendua, meniga, mungkin meribu. Kenapa tidak kau berikan ketulusan hatimu? Tidak cukupkah semua yang telah kuberikan?
Aku benci dan muak dengan segalanya. Pengkhianatan ini telah meghimpitku dan membuat aku tak berdaya. Aku bimbang dan ragu. Masih perlukah kuperjuangkan cinta ini? Mampukah aku hidup tanpa dirinya?
Kepalaku terasa pening, kupaksakan aku keluar dari cafe ini. Kuseret kakiku keluar dan kulambaikan tangan pada seorang sopir taksi yang lewat di hadapanku. Aku ingin cepat-cepat sampai di rumah. Ingin kuluapkan kegalauan hatiku. Kumuntahkan segala kelukaan. Ingin kuakhiri semuanya.
Lima belas menit telah berlalu. Kusampai di rumah dengan luka nganga atas pengkhianatannya. Kupaksakan langkah menaiki tangga menuju kamar. Kunyalakan lampu kamar, seketika terlihat siluet bayanganmu melintas. Kutepis semua bayanganmu dengan luka hatiku. Kututup semua fotomu yang berada di dinding kamar. Kuingin melupakan segala yang pernah ada denganmu. Kuingin segera membaringkan segala kedukaan ini. Lewat celah-celah jendela kudengar untaian syair lagu Ten 2 Five,
I’m ready to lose you,
And I’m ready to let you go
So I’m ready to live without you
Please don’t try to hold me
Cuz I’m ready to lose you…….I’m ready to lose you.
Lagu itu mengukuhkan keyakinanku. Hingga kurasa malam ini terasa panjang sekali. Aku ingin waktu cepat berganti pagi. Mata ini terasa berat untuk kupejamkan. Ya, aku harus tegar. Besok akan kukatakan padanya bahwa aku sudah tak sanggup untuk meneruskan hubungan ini. Akan kutunjukkan padanya bahwa aku mampu hidup sendiri tanpa kehadirannya. Akan aku tunjukkan bahwa saat ini, I am ready to lose you.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar